Di antara tradisi yang masih wujud dalam masyarakat dan yang telah menyebabkan kebanyakan keluarga tidak memberikan kesempatan kepada anak-anak mereka untuk menikmati kehidupan bersuami isteri yang bahagia yang merupakan puncak harapan dan dambaan setiap anak perempuan, iaitu dua perkara:
Pertama, membanggakan keturunan. Maksudnya adalah rasa saling membanggakan keturunan, dan keyakian mereka bahawa keturunan mereka lebih terhormat daripada keturunan orang lain, sekalipun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya Allah Subhaanahu Wata'ala telah menghapus kesombongan kaum jahiliyah dan kebanggaan mereka terhadap para keturunannya.
Yang ada hanyalah seorang mu’min yang bertaqwa atau seorang pembangkang yang celaka. Manusia adalah anak-cucu Adam, dan Adam berasal dari tanah, maka hendaklah orang-orang meninggalkan (kebiasaan) membangga-banggakan para keturunan, kerana sesungguhnya mereka adalah sebagian dari arang api neraka Jahannam, atau bahkan mereka lebih hina di hadapan Allah daripada bajing-bajing.”
Kedua, merendahkan atau menghinakan keturunan orang lain. Maksudnya adalah menganggap rendah dan hina keturunan suatu suku atau kabilah tertentu di masyarakat disebabkan mereka tidak mengenal silsilah keturunan mereka pada salah satu suku atau kabilah Arab yang terkenal.
Padahal Al-Qur’an yang Suci telah menetapkan ukuran kelebihan dan keutamaan di antara manusia itu adalah terletak pada keistiqamahan di dalam menjalankan kepatuhan kepada Allah Subhaanahu Wata'ala, sebagaimana firman-Nya,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.” (Al-Hujurat: 13).
Ayat ini menjelaskan bahawa selagi seluruh manusia itu berasal dari satu nenek moyang (Adam dan Hawa), maka keturunan dan mata rantainya tidaklah mempunyai nilai. Dua masalah inilah yang telah menyebabkan kesengsaraan kebanyakan remaja, dan masih ada sebahagian keluarga yang masih berpegang teguh kepada keduanya kerana tunduk kepada tradisi jahiliyah yang sudah usang itu. Implikasinya adalah dua hal, iaitu:
Pertama: menjauhnya para pemuda dari starta suku yang memandang dirinya lebih tinggi daripada starta yang lain, serta merupakan suatu aib dan kehinaan apabila mereka menikah-kan anak-anaknya dengan pemuda dari suku atau starta yang mereka pandang lebih rendah.
Sebagai akibatnya, anak anak mereka hidup sepanjang hayat dengan tidak berkahwin kerana tidak ada laki-laki yang setaraf dengan keturunan mereka. Ini adalah tindakan jenayah terhadap anak-anak remaja, yang penyebabnya adalah berpegang teguh kepada tradisi jahiliyah kuno yang dibatalkan oleh Islam.
Kedua, munculnya kehancuran di kalangan keluarga-keluarga darah biru seperti itu yang disebabkan anak-anak mereka dilarang menikah, lalu dengan sembunyi-sembunyi mereka mencari jalan untuk memenuhi tuntutan biologisnya.
Maka, oleh karena khawatir kerosakan moral itu akan menyebar di dalam masyarakat dan sebagai pembatalan terhadap tradisi jahiliyah itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hatim Al-Muzaniy:
إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَإِنْ كَانَ فِيْهِ؟ قَالَ: إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوْهُ.
“Apabila datang kepada kamu orang (laki-laki untuk melamar) yang kamu rela (ridha) akan agama dan akhlaknya, maka nikahkan ia (dengan putrimu), sebab jika kamu tidak melakukannya, nescaya terjadi kehancuran (fitnah) dan malapetaka besar di muka bumi ini.
” lalu para shahabat bertanya, “Hai Rasulullah, apakah sekali pun ia (bukan dari suku terkenal)?” Jawab beliau, “Apabila datang kepada kalian seorang lelaki (untuk melamar) yang kamu rela akan agama dan akhlaknya, maka nikahkan ia (dengan putrimu)”. Nabi mengulangi sabdanya itu tiga kali.
Sekali lagi penulis ingin mengatakan, sesungguhnya membangga-banggakan dan menyombongkan diri dengan keturunan, menghinakan dan menganggap rendah keturunan orang lain adalah merupakan tradisi Jahiliyah, tugas Islam adalah menghapus dan memerangi setiap tradisi dan budaya buruk jahiliyah tersebut.
Sekalipun sudah ada ikatan agama dan darah di antara komunitas suatu masyarakat, namun pada sebagian masyarakat kita masih ada sekelompok manusia yang hidup dikungkung oleh pemikiran: “ini orang udik dan itu orang berbudaya”.
Hal itu tentu merupakan pemikiran dan budaya yang sangat jauh dari ajaran Islam yang telah menjadikan ukuran kemuliaan di antara sesama manusia itu terletak pada taqwa dan kesolehan saja! Cukuplah penulis ketengahkan satu contoh di mana segala macam keturunan kesukuan menjadi cair, yang pada suku atau golongan ningrat tertentu sangat dipelihara dan dipegang teguh melebihi keteguhan mereka kepada ajaran-ajaran agama yang diwajibkan oleh Allah. Contoh dimaksud adalah kisah pernikahan Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti Jahsy.
Zaid bin Haritsah adalah mantan budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan Zainab binti Jahsy adalah seorang perempuan berdarah biru dari kabilah Quraiys, anak cucu Bani Hasyim. Sekali pun perbedaan starta sosial dan perbedaan nasab antara keduanya, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetap menikahkan Zaid dengan Zainab.
Apakah setelah pernikahan cucu Abdul Muttalib, putri dari bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berdarah biru (dari keturunan Quraisy) dengan seorang mantan hamba sahaya itu masih ada logika yang dapat diterima yang membeza-bezakan antara anak anggota masyarakat kerana pandangan bahwa si A orang udik, sedangkan si B itu orang berbudaya?!
Adalah sesuatu yang, demi Allah, tidak diajarkan oleh Allah..! Sekali lagi penulis katakan, “Sesungguhnya membanggakan keturunan dan mencela nasab orang lain adalah dua perkara yang termasuk tradisi dan budaya Jahiliyah, maka kewajiban setiap muslim adalah memerangi setiap tradisi dan budaya yang dibatalkan oleh Islam!”
No comments:
Post a Comment